Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Kelas I A)
Pada hari Senin 15 Oktober 2019 yang lalu ada peristiwa penting yang luput dari pengamatan sebagian besar masyarakat. Peristiwa itu tidak lain, diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang yang diundangkan hanya berselang sehari setelah disahkan ini, yaitu diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186, tidak begitu popular mungkin disebabkan oleh 2 hal. Pertama, karena maraknya demonstrasi mahasiswa yang masif di barbagai kota di Indonesia menentang revisi Undang-Undang KPK yang dibarengi pula dengan kerusuhan berbau SARA di Papua. Kedua, hampir seluruh mata rakyat Indonesia waktu itu sedang tertuju kepada hari “H” pelantikan presidan dan wakil presiden terpilih yang telah berhasil memenangkan pilpres dengan penuh dramatis.
Perubahan undang-undang yang hanya mengatur batas usia tersebut sebenarnya lahir dalam rangka singkronisasi dengan undang-undang lain. Sebagaimana kita ketahui menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yang disebut anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 7 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah berumur 19 tahun dan pihak wanita sudah berumur 16 Tahun. Bagi pihak laki-laki menurut Undang-Undang Perlindungan Anak tentu tidak masalah karena sudah melebihi garis demarkasi antara anak, di satu pihak, dan bukan anak, di pihak lain.
Yang menjadi persoalan adalah batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan. Kebolehan melakukan pernikahan bagi perempuan yang baru berusia 16 tahun jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 sebab usia 16 tahun menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 adalah masih masuk kategori anak-anak. Dengan kata lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sama halnya memberikan legalisasi terjadinya perkawinan anak-anak di bawah umur. Pendekatan kuantitatif mengenai kematangan jiwa raga seorang anak ini memang tidak terlepas dari stigmatisasi bernada pesimistis, bahwa perkawinan yang terjadi di kalangan anak-anak cenderung akan berdampak buruk, seperti mudah cerai, melahirkan keturunan yang kurang sehat, dan sejumlah stigma negatif lainnya.
Di sisi lain, pembedaan usia nikah 19 tahun bagi pihak laki-laki dan 16 di pihak wanita menurut Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai sikap diskriminasi. Sebagaimana kita ketahui melalui putusannya Nomor 22/PUU-XV/2017, MK memberikan salah satu pertimbangan bahwa batas minimal perkawinan antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi terhadap pelaksanaan hak utuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Menurut MK ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk kelauarga.
Retorika yuridis di atas tampaknya semakin menemukan dukungannya ketika harus dikaitkan dengan “program klasik kependudukan”. Dan, ini secara jelas telah diakui dalam penjelasan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang secara implisit menyatakan bahwa pengunduran usia nikah tersebut untuk menekan laju angka kelahiran. Laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, secara statistik jelas akan mengganggu kenaikan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, akan berdampak terhadap hasil pembangunan secara keseluruhan. Ketika program keluarga berancana (KB) awal-awal digalakkan di era orde baru, salah satu alasan mengapa kelahiran ‘harus’ dibatasi cukup dua anak bagi setiap pasangan adalah karena pembangunan tidak akan tidak mempunyai arti apa-apa bila laju pertumbuhan penduduk tidak terkendali. Selain pertimbagan diskriminasi, kiranya politik hukum demikian juga menjadi salah satu pertimbangan perubahan usia minimal nikah bagi perempuan.
Telepas dari aneka retorika di atas, saat ini batas usia minimal dibolehkan nikah pria dan wanita telah disamakan. Pada Pasal 7 ayat (1) tegas disebutkan : “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun”.
Pada ayat 2 dinyatakan :”Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/ atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan mendesak dsertai alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”.
Adanya pembatasan batas usia minimal, di satu pihak, dan peluang menyimpangi ketentuan itu, di pihak lain, seolah mengesankan sikap negara yang ambigu. Akan tetapi, hal itu sebenarnya disebabkan oleh realitas bahwa sejatinya tentang kematangan usia nikah merupakan persoalan privat yang sangat bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Apalagi, jika harus dikaitkan dengan aneka ragam kultur masyarakat Indonesia yang ada. Di satu masyarakat yang relatif maju tingkat pendidikan dan ekonominya usia 19 tahun tentu masih terlalu rendah. Hampir rata-rata orang yang berpendidikan tinggi memilih sendiri menikah di atas usia rata-rata. Tetapi, bagi orang yang tidak mampu menempuh pendidikan tinggi karena ketidak beruntungan secara talenta dan ekonomi, menunggu usia 19 tahun untuk menikah tentu merupakan penyiksaan dan dalam tataran tertentu dapat disebut sebagai pelanggaran HAM. Belum lagi bila hal ini dikaitkan dengan tata pergaulan masa kini yang cenderung permisif. Dukungan teknologi (medsos) dalam keseharian yang menjangkau hampir semua masyarakat, dari sisi dampak negatifnya, juga tidak kalah bahayanya. Pergaulan muda-mudi yang alat-alat reproduksi seksual telah masak, secara biologis, sering terkait dengan dampak negatif teknologi itu. Bermula dari kontak dengan lawan jenis di dunia maya, sering mereka lanjutkan dengan kontak di dunia nyata. Hubungan intens yang semula hanya sebatas ‘pacaran biasa’ berlanjut dengan ‘pecaran luar biasa’. Banyaknya kasus kehamilan di luar nikah yang menimpa anak remaja adalah salah satu bentuk akibat pacaran luar biasa itu. Jangankan yang sudah tidak bersekolah, yang masih dalam fase wajib belajarpun sering terjerat pergaulan hitam itu. Orang tuapun sering dibuat tidak berdaya mengahapi putra-putrinya yang sudah masuk ke area itu. Membanjirnya perkara dispensasi kawin ke Pengadilan Agama sebagaimana telah kita duga, pascaamandemen undang-undang perkawinan baru-baru ini, kebanyakan juga diajukan oleh kelompok masyarakat demikian.
Kiranya, hal-hal itulah yang menjadi pertimbangan kenapa penyimpangan usia minimal nikah itu dapat disimpangi dengan “lembaga dispensasi kawin” dan menurut Pasal 63 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menjadi kewenangan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang bergama selain Islam. Secara khusus, Mahkamah Agung tampaknya juga memandang serius perkara ini. Melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 yang mulai berlaku sejak 20 November 2019, secara khusus memberikan petunjuk teknis penanganan perkara dispensasi kawin ini. Dalam Perma ini, antara lain, diatur persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh pemohon ( Pasal 5), siapa yang boleh mengajukan perkara (Pasal 6), dan teknis pemeriksaan ( Pasal 10 s.d Pasal 18). Perma ini juga mengatur pemohon untuk mengajukan upaya hukum apabila permohonannya ditolak (Pasal 19). Akan tetapi, secara umum ruh Perma tersebut adalah agar dispensasi kawin ditangani tidak saja serius dan hati-hati, tetapi juga selektif.
Akan tetapi, yang tersisa dari semua wacana di atas adalah bahwa masalah kapan anak kita harus menikah bergantung kepada nurani kita. Kita yang dimaksud di sini tidak hanya orang yang akan dinikahkan, tetapi juga kedua orang tua calon suami/istri, dan masyarakat. Pada intinya merencanakan pembangunan sebuah keluarga tentu perlu pertimbangan banyak hal. Kalau tidak, bisa jadi impian kehidupan suka cita yang dibayangkan ketika berkeluarga bisa jadi hanya akan menjadi duka dan nestapa sepanjang hidup. Pada saat yang sama masih saja terdengar sayup-sayup ‘oknum’ pemberi tausiyah yang ‘mengkampanyekan’, bahwa nikah adalah salah satu dari 3 perkara yang main-mainpun terjadi apalagi jika sungguh-sungguh, sehingga nikah adalah masuk dalam kelompok ajaran yang harus disegerakan setara dengan menyegerakan melunasi hutang. Benarkah demikian? Wallahu A’lam.