Lembaga dispensasi kawin ( bagi yang beragama Islam ) secara absolut menjadi kompetensi Pengadilan Agama berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) jis Pasal 63 UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 49 huruf (a) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009. Ihwal mengapa seseorang memerlukan lembaga hukum ini sebenarnya hanya persoalan umur. Dalam hal ini, ketika seseorang belum mencapai batas minimal usia yang diizinkan oleh undang-undang untuk perkawinan, yaitu usia 19 tahun bagi calon mempelai pria dan 16 tahun bagi calon mempelai pria. Dengan kata lain, apabila seseorang ingin melangsungkan perkawinan sementara usianya belum mencapai batas usia minimal tersebut, maka dia harus mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama.
Pemberian batasan minimal usia perkawinan tersebut sebenarnya bukan tanpa tujuan. Pembatasan usia tersebut mengandung maksud agar suatu perkawinan benar-benar dilakukan oleh calon mempelai baik pria maupun wanita yang sudah matang jiwa raganya. Hal ini juga menngandung maksud yang lebih jauh, yaitu agar perkawinan itu sendiri dapat mewujudkan tujuan perkawinan. Sesuai ketentuan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah bertujuan membentuk keluargan ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Atau, menurut Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan tersebut dibahasakan dengan : “mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Akan tetapi, oleh karena perkawinan juga terkait dengan kependudukan, batasan umur yang terlalu rendah juga akan mengakibatkan laju fertilitas yang sangat tinggi yang dampak buruknya juga terkait dengan pembangunan. Pembangunan akan menjadi tidak berarti jika pertumbuhan penduduk tidak terkendali. Dengan demikian, peran institusi ( baca : Kantor Urusan Agama Kecamatan ) yang berkompeten menegakkan batasan usia perkawinan tersebut sangat urgen.
Akan tetapi, terkait dengan lembaga dispensasi ini yang ingin kita angkat ke permukaan bukan masalah aspek hukum baik secara teoretis maupun taknis. Tampaknya ada aspek lain yang perlu kita cermati sekaligus kita waspadai. Sebagaimana kita ketahui bahwa akhir-akhir ini perkara dispensasi kawin di Pengadilan Agama Banyuwangi mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Sebagai ilustrasi, dalam 1 hari rata-rata setiap majelis menangani perkara dispensasi kawin sebanyak 2 perkara. Jika dalam sehari Pengadilan Agama bersidang dengan 3 Majelis dengan 4 hari sidang dalam seminggu berati Pengadilan Agama menyidangkan perkara dispensasi kawin ini rata-rata sebanyak 96 perkara setiap bulan dengan asumsi ada 4 minggu dalam sebulan. Berapa pula rata-rata dalam setahun? Terhadap fenomena tersebut, sementara ada yang bilang, bahwa tingginya angka perkara dispensasi tersebut disebabkan oleh kenaikan kesadaran hukum masyarakat. Akan tetapi, benarkah?
Berdasarkan pengalaman, perkara yang masuk ke pegadilan ternyata diajukan oleh wali terhadap anak yang hampir 99 persen sudah mengalami “kecelakaan”. Dalam usia di bawah 19 tahun dan 16 tahun sudah dapat dipastikan tingkat pendidikan mereka masih berkisar SLTP dan SLTA. Calon pengantin anak-anak bermasalah ini pasti belum masak secara jiwa raga. Bahkan, di antara mereka ada yang masih pantas bermain layaknya anak-anak karena baru tamat sekolah dasar. Sebuah fenomena yang membuat bulu kuduk berdiri, ketika menyaksikan anak-anak seusia itu harus mengandung, melahirkan dan kemudian harus membesarkan serta mendidik anak-anak. Predikat pengasuh ( orang tua ) masih sama dengan predikat yang diasuh, yaitu sama-sama berpredikat anak-anak.
Ketika pengadilan mengabulkan hampir 100 persen perkara dispensasi kawin, tampaknya sering menuai kritik dari berbagai kalangan. Pengadilan tidak peka dengan program Keluarga Berencana, pengadilan agen pernikahan dini, dan sejumlah cibiran serupa lainnya. Padahal, dalam kondisi seperti itu pengadilan dalam posisi dilematis. Di satu sisi, pengadilan harus tetap menjaga maksud undang-undang, yaitu agar tidak terjadi perkawinan dini dengan segala akibat buruk yang ditimbulkan. Di sisi lain, pengadilan harus tetap melihat kasus tidak hanya dari sisi kemanusiaan bagi calon mempelai – yang harus menanggung aib karena hamil tanpa harus ada yang bertanggung jawab — tetapi juga dari kepentingan si bayi. Bayi yang tidak berdosa itu harus diberi perlindungan. Perlindungan yang paling berharga, di samping perlindungan-perlindungan lain, adalah perlindungan hukum, yaitu adanya pengakuan secara hukum, bahwa dia lahir ke dunia sebagai anak sah yang mempunyai hak-hak secara penuh baik dari ibu dan ayahnya. Hal ini tentu akan berbeda jika dia lahir sebagai anak yang tidak sah yang hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkannya saja. Dalam hal ini, tindakan pengadilan meloloskan perkawinan dini dengan memberi dispensasi anak hamil diluar nikah ini adalah tindakan memilih menghindari akibat yang sudah pasti dari akibat yang belum pasti. Akibat yang sudah pasti adalah bagi ibu dan bayi yang dikandungnya. Ibu si bayi harus dijaga stabilitas mentalnya agar tidak berimplikasi kepada kondisi janin dan bayi yang tidak berdosa juga harus lahir dalam keadaan mempunyai perlindungan hukum, yaitu jelas siapa ayah dan ibu sebagai orang tuanya. Sedangkan, akibat yang belum pasti adalah apakah perkawinan pasangan usia dini akan’baik atau tidak’. Antara mengabulkan atau tidak mengabulkan, dua-duanya memang berisiko, tetapi pengadilan harus memilih risiko yang lebih kecil. Pengabulan permohonan dispensasi kawin, dalam perspektif kaidah hukum Islam, adalah tindakan memilih risiko yang labih kecil dari dua risiko yang ada.
Terlepas dari kompetensi pengadilan dan keputusan yang dikeluarkan, yang jelas fenomena anak hamil di luar nikah sebagai embrio perkara dispensasi kawin mengundang sejumlah pertanyaan kita. Mengapa hal itu terjadi? Apakah hal ini akibat pergaulan muda-mudi yang semakin permisif, atau akibat kurangya pengawasan orang tua, atau akibat dari kegagalan pendidikan kita, atau akbiat kemajuan teknologi informasi, atau akibat menurunnya peran para tokoh agama, atau bahkan akibat keberhasilan pembangunan? Sejuta pertanyaan dapat kita ajukan dan yang pasti akan menjadi kajian menarik. Akan tetapi, apapun faktor penyebabnya, fenomena hamil diluar nikah yang menimpa anak-anak itu harus segera mendapatkan perhatian sirius dari semua pihak.
—————————————————————————————————
BIODATA PENULIS
Nama | Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H. |
Tempat & Tgl Lahir | Banyuwangi, 15 Oktober 1962 |
NIP | 19621015 19910301 1 001 |
Pangkat, gol./ruang | Pembina Utama Muda, IV/c |
Pendidikan | S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988 |
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001 | |
Hobby | Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni. |
Pengalaman Tugas | Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001 |
Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004 | |
Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007 | |
Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011 | |
Sekarang | Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA sejak Desember 2016 |
Alamat | Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi |
Alamat e-Mail | asmui.15@gmail.com |